In Memorial
Derai hujan membasahi
bumi
Iringi kepergianmu
dari sisiku
Samar terdengar
langkahmu menjauh
Memudar tanpa jejak
dan menghilang
Ku tak mampu hadapi
semua
Ku tak sanggup lewati
waktu
Tanpa hadirmu yang
selalu mengilhami……
(krisna & new
spektrum)
Delapan tahun
berlalu dalam sebuah “memory”……. Ya hanya sebuah “memory”. Dan takan pernah
menjadi memori yang “spesial” bagi siapapun, karena bagi orang lain mungkin ini
hanya sebuah cerita masa lalu, dan mungkin akan segera “usang” dalam ingatan. Dan
bagi orang yang tidak mengenalnya ini adalah sebuah cerita “biasa”.
* Cerita
tentang seorang “guru” di sebuah madrasah swasta di desa kecil. Bagi orang lain
beliau adalah seorang guru, hanya seorang guru atau mungkin seseorang yang
dalam sejarah terkait dengan perjuangan madrasah itu. Dan hanya sebatas itu
orang mengenalnya, sebatas seorang “guru” yang ceritanya semakin “usang”
seiring berjalannya waktu.
“namun” di
balik semua itu beliau adalah sosok ayah bagi anak2nya, dan juga bagiku, dia
adalah ayah…. Ya hanya sosok ayah yang ku kenal darinya.
Dimana orang
mulai melupakan namanya, nama yang mulai “usang”.
* Mungkin tak
ada yang mengingat ketika beliau berangkat pagi2 ke sekolah, dengan buku yang
di jinjingnya tanpa tas, peci hitan yang dikenakannya, dengan sepatu yang
selalu mengkilat. Ya memori itu sudah hilang, tapi tidak bagi anak2nya.
* Suasana
belajar di kelas dengan suasana yang kompetitif yang sehat tanpa sadar
tercipta, beliau selalu memberi soal dan bagi siswa yang sudah selesai
mengerjakan soal lansung membawa ke meja beliau, siswa berlomba menjadi yang
tercepat mengerjakannya. Dan ini bagi sebagian teman2ku, juga bagi alumni yang
pernah diajar beliau, memori ini mungkin sudah hilang, tapi tidak bagiku,
karena aku mengenangnya sebagai seorang “ayah”. Bukan sebagi seorang “guru”
* di kelaspun
dia tetap ayah bagiku. Dan ini menjadikanku mengingat banyak memori di
kelasnya. Aku masih ingat ketika beliau sering bilang pada siswa yang belum
sarapan untuk izin keluar tidak mengikuti pelajaran sebentar, untuk sarapan di
kantin. Dan aku yakin memori ini juga hilang dalam ingatan siswa2nya.
“namun” dalam
cerita anak2nya nama itu takan pernah “usang”, meskipun beliau sudah tidak ada,
namun namanya takan pernah “usang” sampai kelak dalam keadaan apapun.
Dan aku
bersyukur menjadi putri kecilnya, karena dengan itu, memori tentangnya takan
pernah “usang” dalam ingatanku.
* Ada hal yang
membuatku benci padanya sewaktu aku masih kecil. Yaitu ketika aku bermain
kesorean sampai ga mandi2, beliau selalu memukulku dengan kayu atau menyambukku
dengan sapu lidi bahkan sampai aku dikejarnya ketika aku kabur. Pukulan ayah
selalu aku takutkan karena terasa sakit dan perih, dan selalu saja aku menangis
kesakitan……… memori ini juga takan perah “usang” meskipun pedih tapi hal ini
kurindukan darinya, rindu “perhatian” darinya.
* dalam
pernikahan kedua kakakku. suasana haru pilu selalu mewarnai, kucuran air mata
yang tertahan ketika akad nikah diucapkan, membuat dada terasa sesak. Entah apa
yang terjadi dalam perasaanku, dalam perasaan semua kakak2ku, kami mungkin
merasakan kehadirannya dengan cara kami masing2.
Memori semua
tentang seorang “guru” yang itu adalah ayahku memang adalah seutuhnya milik
keluargaku. Bukan memori orang lain dan “bukan lagi” dalam sejarah sekolahan
itu.
“Namun” gedung
sekolah yang di depan mata itu seolah selalu berbicara pada “kami”. Tentang
sebuah memorinya, tentang sebuah “mimpinya”. Mimpi yang mungkin sulit
diteruskan oleh “kami” anak2nya.
Sebuah sekolah
yang sepertinya sedikit demi sedikit menjauh dari cita-citanya, juga
cita-citaku. Sebuah “paradoks” yang terjadi dalam sudut pandang. Dan aku pun
tak berani mengungkap lebih jauh lagi di sini, karena mungkin ini murni hanya
perasaanku saja. Terasa KAKU dalam sebuah perjuangan pendidikan di
sekolah, dan enntahlah….. bahkan aku sempat mendengar, kakak2ku yang bekerja
disana merasa lelah untuk berjuang terus, tapi aku bangga pada mereka, karena
sampai detik ini masih bertahan walaupun kadang lelah dan putus asa.
Tinggal aku
sekarang……..? dalam kondisi sekarang, di titik sekarang, dalam kebimbangan dan
keragu-raguan tentang “mimpiku” “mimpi ayah” “mimpi sekolah”, menjadi sebuah “trilogi”
yang “paradoks” tanpa “titik temu” dalam tujuan hidupku. Karena terkadang ada
perasaan kecewa yang terlintas tentang kondisi sekarang “apapun itu” terhadap
sebuah gedung di depan mata yang kini hanya bisa membisu……..
And the
end, everything about you, “my father”,
is always in my dream although I am in a doubt about it
Maaf ayah………
Dedicate for my
father
Memory in Yogyakarta
Senin, 25 Juni 2012
(Dhie Fie Syahida)