Rabu, 05 Desember 2018

Lupa Bersyukur Kawan….?

Suatu hari seorang bayi lahir ke dunia ini, bersamanya ada sebuah bekal potensi yang akan terus berkembang selama hidup di dunia, dengan semua ketersedian fasilitas yang sangat memadai. Awal hidupnya di dunia, samar terdengar suara yang melantunkan asma-Nya, seorang lelaki dengan air mata haru yang terurai di pipinya, dialah ayah sosok pertama yang mengingatkan tentang perjanjian agung yang pernah dibuat antara Tuhan dengannya sewaktu di rahim ibu. Meski selalu saja perjanjian itu terlupakan, dan selalu saja ada ayah, ibu, saudara, teman, guru, atau entah siapapun itu yang mengingatkan kembali tentang perjanjian agung itu. Selama lantunan itu terus berdengung di telingan kanan dan kirinya, bayi itu tak berhenti menangis, mungkin cuma seorang bayi yang memahami kemahabesaran-Nya, mungkin kecemasan tak tertandingi yang dirasakan bayi itu. Dan dengan sentuhan lembut ibu, bayi itu mulai tenang, dia minum dari ibu, mendapatkan suapan pertama juga dari ibu. Begitulah Tuhan menjaga seorang bayi yang baru lahir, disampingnya ada ayah yang siap mendidiknya, ada sesosok ibu yang selalu siap menghapus air matanya. Setiap bayi mendapat bagian dari kasih sayang-Nya, bayi itu termasuk aku, kamu, dia, mereka, kalian, dan semua manusia. Nikmat pertama yang kita dapat adalah kondisi keluarga kita, menangis, tertawa, sedih, bahagia, cemas, tersenyum, kaya, miskin, semangat, putus asa, meraih kesuksesan, kegagalan, kehilangan, berkelahi, beda pendapat, bercanda, cinta, rindu, apapun itu keluarga menjadi tempat mengeluh dan berbagi. Dengan kelengkapan itu semua terkadang manusia lupa dengan Tuhan, padalah semua rasa itu adalah pemberian Tuhan. Kemanakah kita selama itu? Sudahkah kita berterimaksih pada-Nya.
Sumber: http://www.mirifica.net/ Beranjak dewasa ketika manusia sudah mampu berbicara, membaca, mendengar,dan menulis. banyak kata yang keluar darinya, mulai hal yang sederhana sampai pada hal yang kompleks, mulai dari berbicara harian, curhat dengan teman, mengeluh kepada keluarga, berdo’a kepada Tuhan, orasi, ceramah,presentasi, mengajar dikelas, mengomentari pertandingan bola. Namun didalam itu semua manusia sering tidak mengerti bagaimana proser sebuah bunyi itu keluar dari mulut. pita suara bergetar dengan sebuah kontrol yang tidak kita mengerti, lidah menekuk atau melentur ditempat yang sudah semestinya, tekanan udaran yang kita keluarkan dari mutut, sengau hidung yang tidak menghambat keluarnya bunyi, hanya untuk satu huruf saja membutuhkan proses yang begitu rumit. Ketika manusia mampu mendengar, menikmati lantunan musik, melihat pertunjukkan drama dan banyak hal lain yang sering didengar oleh telinga manusia, terkadang kita kagum dengan suara indah sang penyanyi, terpukau dengan ucapan bijak sang penyair. Ya seperti itulah manusia selalu mengagumi apa yang ditulis, dibaca, didengar, dan di ucapkan, tapi sering kali lupa untuk mengagumi bahwa kita bisa menulis, membaca, mendengar, dan berbicara. Begitulah Tuhan memberi nikmat pada manusia dengan membekali keempat kemampuan berbahasa itu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hmm…. Sekarang mari kita lihat pada kehidupan dunia, anda pasti mengetahui Thomas Alfa Adison, seluruh dunia berterimaksih atas penemuan bola lampunya, mengagung-agungkan namanya, dalam sains jasanya takan pernah terlupakan, manusia tinggal membayar listrik tiap bulannya untuk menikmati hasil penemuan Adison. Namun pernahkan kita mengucapkan terimakasih atas penciptaan matahari untuk kehidupan kita? Indahnya bumi bisa kita nikmati dengan adanya sinar matahari, Dia menciptakan bola lampu yang sangat besar untuk manusia, tanpa harus bayar, tanpa pernah mati, matahari juga dilengkapi dengan suhu panas untuh menunjang kehidupan manusia. Belum lagi penemu-penemu lain yang kita kagumi seperti Einsten, Charles Darwin, James Watt, Alexander Graham Bell, Galio Galilie, dan entah siapa lagi yang mendapatkan perhargaan dari manusia atas jasanya. Pencerahan bijak dari Plato, Aristoteles, Socrates yang menjadi dasar pijakan perkembangan ilmu pengetahuan. Di dalam itu semua manusia terhanyut dengan kesombongannya dan salah menempatkan ketundukannya pada ilmu, bukan pada sumber ilmu yang sesungguhnya, Al ‘Aliim.
Sumber: https://www.liputan6.com baca juga tulisan Mencoba Kereta Diesel Rangkas Merak untuk melihat perkambangan revolusi kendaraan darat, dan situasinya Kemudian dalam pertanian manusia selalu bangga dengan bibit unggul hasil pencangkokkan atau perkawinan yang bisa berbuah lebat dan manis, para petani bersuka cita atas panen yang berlimpah. Namum pernahkah kita berfikir siapa yang mengatur itu semua untuk kesejahteraan manusia? Bagaimana bisa mangga dalam satu pohon bisa berlainan warna, berlainan rasa, manis, masam, hambar, mampukah manusia mengatur itu sendiri? Lalu kemanakah selama ini nikmat ini kita sandarkan? Begitu banyak nikmat Tuhan pada kita, sejak kita lahir kedunia sampai nantinya kita mati, tak peduli manusia lupa bersyukur atau tidak, Tuhan selalu menyediakan pangan untuk kita, menundukkan laut untuk kita ambil rizkinya. Bahkan binatang melatapun Dialah yang memberi rizki, lalu bagaimana manusia bisa protes atas kekurangan rizki dari-Nya. Nikmat diberi keluarga yang selalu mendukung kita, diberi teman yang member warna pada kita. Nikmat untuk berekspresi mengungkapkan rasa sedih, bahagia, cemas, takut, senang, dan ekspresi lain yang terkadang kita tak mampu mengungkapkan dengan kata-kata. Nikmat matahari, bulan, bumi, angin. Nikmat potensi manusia. Dan nikmat kehidupan lain yang takan pernah cukup kita tulis. Dan pertanyaan sederhananya adalah mampukah manusia mendustakan nikmat Tuhan? فبايّ ءالآء ربّكما تكذّبان bahkan Tuhan menyebutkan ayat tersebut berkali-kali dalam surat Ar-Rahman, dalam ayat ke 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, dan 77. Ya tidak cukup satu kali Tuhan mempertanyakan itu pada manusia. Begitu tersumbatkah hati dan pikiran manusia hingga berkali-kali diperingatkan? Dalam sebuah perumpamaan menyebutkan bahwa perbandingan antara rasa syukur manusia dengan nikmat yang diberikan Tuhan adalah rasa syukur manusia itu baru setetes air dilaut, dan nikmat Tuhan adalah sebanyak lautnya. Catatan ini bukanlah untuk membela Allah, karena Allah tidak perlu dibela. Juga bukan untuk mengagungkan Tuhan, karena Tuhan dengan sendirinya Maha Agung, tak perlu pengagungan dari manusia, dan takan berkurang keagungan-Nya jika kamu tidak mengagungkan-Nya. Bukan Allah yang membutuhkan manusia, tapi manusia yang membutuhkan Allah, bukan Allah yang membutuhkan pengagunganmu, tapi kamu yang butuh mengagungkan-Nya. Bukan Tuhan yang butuh rasa syukurmu, tapi kamulah yang membutuhkan untuk bersyukur pada Allah.
Sumber: https://www.flickr.com

Minggu, 02 Desember 2018

dia.,,, karena dia adalah temanku “Hadapi bukan hindari”

Tentang sebuah mimpi yang masih tersigap dalam ingatanku. Bahwa semua itu ada dalam hidupku namun belum menjadi nyata. Tentang sebuah mimpi yang masih berliku jalannya untuk kutempuh, tersandung, dan kadang kala berujung pada kebuntuan, berbalik arah menjadi jalan yang harus kupilih karena tembok di depan terlalu tinggi untuk kuloncati, terlalu keras untuk ku hancurkan. Memutar arah, berarti butuh waktu untuk kembali kejalan tadi dan mencari jalan yang lain. Ini ada sebuah kesalahan tentang sebuah mimpi yang kususun dalam satu jalan saja. Kerikil, batu, berlikunya jalan, tanjakan dan kebuntuan tak pernah kuperhitungkan sebelumnya, karena aku hanya tau berjalan dan berjalan. Hingga akhirnya aku sering terjatuh dan terjatuh. Tentang sebuah mimpi yang kini mulai usang dalam ingatanku...... mulai tidak mengerti bagaimana harus berjalan lagi di jalan itu. “ah..... biar saja aku berhenti disini”, selalu ada suara-suara yang berusaha mematahkan kakiku untuk berjalan. Dan aku pun lelah untuk mendengar suara-suara itu, hingga kuputuskan menutup telingaku rapat-rapat, tp ternyata tak pelak dari telingaku, hingga suara itu menggema dan tersimpan dalam ingatanku. Seolah seperti hantu yang selalu mengikutiku. Salah..... salah.... harusnya aku tak sekedar menutup telinga, harusnya aku menutup mulut-mulut mereka juga. Menutup mulut mereka dengan sebuah penyelesaian yang baik bukan hanya sekedar menghindari, menyelesaikan apa yang mereka perbincangkan tentang kepincanganku. tak ada pilihan lain untuk menutup mulut mereka adalah dengan aku sembuh dari kepincanganku. Dan kembali melangkah di jalan yang telah kususun kembali, bukan hanya satu arah, tapi banyak cabang di sana, cabang-cabang yang menghubungkan antara mimpi-mimpiku dan tujuanku. Jika nanti jalanku buntu diujung, maka aku punya persimpangan agar aku berbelok arah, bukan berbalik arah dan takan pernah lagi kutemui kebuntuan di jalan mimpiku. Namun suara-suara mereka akan selalu muncul dalam setiap perjalananku, tapi kini aku tak pernah menganggapnya serius, itu hanya batu loncatan ketika aku harus menaiki sebuah tangga, tangga-tangga keberhasilan tentunya. Masih tentang sebuah mimpi yang kini mulai ada pencerah. Dan akan kusambut itu dengan senyuman untuk menyumbat perbincangan mereka dari kepincanganku...... Ternyata dengan tak lagi pincang suara itu mereda.... Dengan selesainya tugasku, suara itupun telah menghilang... Dan akhirnya dengan senyuman, ku songsong masa depanku...... “kepincanganku harus kuselesaikan sendiri dengan bijak” “Bukan menutup telingaku, tapi menutup mulut mereka dengan kerja kerasku” “Bukan menghindari, tapi menghadapi” “Bukan hanya satu arah, tapi banyak arah” “Bukan hanya untuk disimpan sendiri, tapi untuk orang lain” “Bukan hanya satu teman, tapi banyak teman” “Dari semua itu hanya ada yang benar-banar satu...... it’s my God”

Rabu, 05 September 2018

Mempererat Keberagaman Bangsa melalui Bahasa

Keberagaman bangsa Indonesia tidak dapat dipungkiri. Beraneka suku, budaya, agama, ras, dan bahasa menjadi identitas nasional yang dimiliki bangsa Indonesia. Keberagaman ini yang memunculkan semboyan Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu jua. Namun, dalam kurun waktu belakangan ini isu keretakan bangsa timbul justru dari keberagaman ini. Konflik muncul karena perbedaan budaya, agama, ras, dan lain-lain. Sejumlah peristiwa mewarnai media massa yang memicu konflik berkepanjangan serta mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Salah satu contohnya adalah peristiwa penghinaan yang dilakukan oleh pejabat dari salah satu etnis tertentu pada agama lain. Permasalahan ini berkembang menjadi isu politik yang berpotensi memecah keutuhan bangsa. Berbicara keutuhan bangsa, tanggung jawab ini tidak hanya dipikul oleh pemerintah, tapi seluruh lapisan masyarakat. Namun melihat usia produktif manusia, maka anak-anak dan orang lanjut usia tidak bisa mengemban tugas ini. Maka tugas ini bertumpu pada para pemuda. Semangat pemuda-pemudi Indonesia inilah yang mampu mengokohkan persatuan dan kesatuan bangsa. Mari kita lihat peran pemuda dalam perjalanan bangsa ini. Tahun 1928 masih dalam masa penjajahan. Para pemuda tergerak dan bertekad untuk mendeklarasikan “Sumpah Pemuda”. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme. seluruh pemuda perlu bersatu untuk mengusir penjajah. Salah satu isi teks sumpah pemuda adalah “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Coba bayangkan kondisi psikologis pemuda saat itu? Pemuda dari suku Jawa yang mayoritas, kenapa mereka tidak memaksa bahasa Jawa menjadi bahasa persatuan? Pemuda dari Sunda, Melayu, Ambon, dan berbagai pemuda dari sukunya masing-masing, kenapa mereka tidak saling memaksakan bahasa daerah masing-masing untuk jadi bahasa nasional? Mereka saling menurunkan ego kesukuan mereka demi persatuan bangsa. Peristiwa sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928 menjadi momentum peresmian kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Para pemuda dari berbagai suku bangsa dan budaya secara sadar menanggalkan bahasa daerahnya dan mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Hal tersebut merupakan kesadaran berbangsa yang patut diteladani, karena para pemuda mau menghilangkan sekat perbedaan etnis. Inilah yang menjadi cikal bakal perjuangan bangsa dalam meraih kemerdekaan. Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, ini merupakan unsur ketiga dari isi sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Merupakan penyataan tekad bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan bangsa Indonesia. Tahun 1928 inilah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa Nasional. Penggunaan bahasa Indonesia dapat memupuk rasa kesatuan dan persatuan bangsa dari beragam etnis. Bahasa Indonesia hadir di tengah ratusan bahasa daerah tidak menimbulkan sentimen negatif antar etnis yang menggunakannya. Kehadiran bahasa Indonesia justru dianggap sebagai pelindung sentimen kedaerahan dan sebagai penengah ego kesukuan. Sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku yang memiliki latar belakang yang beragam dan bahasa masing-masing, bahasa Indonesia dapat menyerasikan dan menyelaraskan hidup bangsa yang bersatu tanpa meninggalkan identitas kesukuan dan kesetian pada nilai-nilai sosial budaya. Bahkan lebih dari itu, dengan bahasa Indonesia kepentingan nasional diletakkan di atas kepentingan daerah dan golongan. Latar belakang sosial budaya dan bahasa yang beragam sangat berpotensi menghambat hubungan antardaerah dan antarbudaya. Tetapi dengan hadirnya bahasa Indonesia, suku yang satu dapat berhubungan dengan suku yang lain sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Setiap orang Indonesia apapun latar belakang suku dan budayanya dapat bepergian ke pelosok nusantara dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Dengan demikian bahasa Indonesia telah menjalankan fungsinya sebagai bahasa persatuan Bahasa Indonesia dalam pembangunan nasional memiliki peran penting. Dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat menggunakan bahasa Indonesia berdamping dengan bahasa daerah sebagai alat komunikasi yang efektif. Bahasa Indonesia telah mampu digunakan sebagai wahana atau piranti untuk membangun kesepahaman, kesepakatan, dan membangun persepsi yang sama demi kelancaran dan pembangunan masyarakat di berbagai bidang kehidupan. Bahasa Indonesia dalam perkembangannya telah teruji keberadaannya, baik sebagai bahasa persatuan maupun bahasa resmi negara. Gejolak yang mengancam kerukunan dan kesatuan bangsa, bukanlah bersumber dari bahasa Indonesia. Justru hingga kini, bahasa Indonesia menjadi perisai pemersatu. Sebagai pemuda penerus bangsa di era sekarang haruslah kita bijak dalam memaknai ulang peristiwa sumpah pemuda, terutama terkait dengan bahasa. Dengan bahasa kita bisa berkomunikasi, dengan bahasa kita bisa bersatu, dengan bahasa pula kita mampu berjuang lewat tulisan maupun lisan. Sebagai pemuda jangan pernah lupa bahwa “Bahasa menunjukkan bangsa”

Kausalitas

Senja sore ini langit begitu merah merayu….. memanjakan rasa lelah setelah sehari beraktivitas. Tidak heran seorang perempuan paruh baya men...