“ayah akan
bercerita. Maukah kau mendengarnya? Ayah janji ini cerita terakhir”.
Aku
mengangguk.
Ayah
menarik napas dalam-dalam, memperbaiki posisi berbaringnya. “kau pasti selalu
bertanya-tanya, apa ibu kau bahagia?akan ayah ceritakan apakah ibu kau
sesungguhnya bahagia atau tidak.
“dalam
suatu perjalanan jauh yang pernah ayah lakukan, ayah tiba di perkampungan para
sufi. Kau tau apa sufi? Sufi adalah orang-orang yang tidak mencintai dunia dan
seisinya. Mereka sibuk memikirkan hal lain. Memikirkan filsafat hidup, makna
kehidupan, dan prinsip-prinsip yang agung. Ayah tahu, diantara banyak sufi,
tidak semuanya berhasil mencapai pemahaman yang sempurna tentang kehidupan. Ada
yang baru tertatih belajar tentang kenapa kita harus hidup. Ada yang sudah
mencapai pemahaman apa tujuan dan makna hidup, ada pula yang telah berhasil
melakukan perjalanan spiritual hingga memahami hakikat sejati kebahagian hidup.
“itu
pertanyaan terpenting ayah. Apa hakikat sejati kebahagian hidup? Apa definisi
kebahagiaan? Kenapa tiba-tiba kita merasa senang dengan sebuah hadiah, kabar
baik, atau keberuntungan? Mengapa kita tiba-tiba sebaliknya merasa sedih dengan
sebuah kejadian, kehilangan, atau sekedar kabar buruk? Kenapa hidup kita
seperti dikendalikan sebuah benda yang disebut hati? Tidak ada di antara
sekelompok sufi itu yang bisa memberikan penjelasan memuaskan. Mereka menggeleng,
hingga akhirnya salah seorang dari mereka menyarankan ayah berangkat ke salah
satu lereng gunung. Di sana tinggal salah satu sufi besar, ribuan muridnya,
bijak orangnya, boleh jadi dia tahu jawabannya. Ayah bergegas mengemas ransel,
berangkat siang itu juga.
“ayah
menemui sang guru. Dia menerima ayah dengan ramah, member kesempatan ayah
bertanya. Pertanyaan ayah hanya satu, Dam. Apa hakikat sejati kebahagian
hidup? Dengan memahaminya, seluruh
kesedihan akan menguap seperti embun terkena sinar matahari. Dengan
memilikinya, setiap hari kita bisa menghela napas bahagia. Sang guru terdiam
lama, menggeleng, berkata bahwa ayah memberikan pertanyaan yang dia tidak tahu,
tidak ada orang di dunia ini yang bisa menjawabnya. Ayah mendesah kecewa,
kemana lagi harus mencari tahu. Sang guru menatap ayah lamat-lamat, berfikir
sejenak. Seberapa tangguh ayah mencari tahu?ayah berkata mantap, apapun akan
ayah lakukan.
“sang
guru tersenyum. Dia memberikan pekerjaan teraneh yang pernah ayah tahu. Seratus
mil dari lereng gunung tempat dia bermukim terdapat tanah luas di tepi hutan.
Ada perkampungan dekat hutan itu. Perkampungan itu butuh sumber mata air berupa
danau. Sang guru menyuruh ayah membuat danau di tanah luas itu. Astaga, Dam,
benar-benar sebuah danau. Itu bukan pekerjaan mudah”. Ayah tertawa pelan
membuat napasnya sedikit tersenggal.
“sang
guru bilang, ‘ketika kau berhasil membuat danau indah yang jernih bagai air
mata, kau akan mendapatkan jawaban hakikat sejati kebahagiaan. Berangkatlah,
setahun kemudian aku akan datang, aku akan melihat apakah danau itu sudah
sebening air mata.’
Walau
tidak punya ide apapun soal danau itu, ayah mengangguk mantap. Ayah sudah
menduga, definisi kebahagian sejati seharga pengorbanan besar. Itu pencapaian
paling tinggi seorang sufi, dan sepertinya tidak bisa diperoleh hanya dengan
membaca buku atau bertanya. Ayah berangkat memulai pekerjaan besar itu, membuat
danau yang cukup untuk satu kampong.
“kau
tahu, Dam, tidak berbilang tanah yang harus ayah pindahkan. Berkubang licak
setiap hari, mulai bekerja saat matahari terbit, baru berhenti ketika matahari
tenggelam. Ayah baru berhenti saat galian itu memiliki kedalaman tiga meter,
luasnya sebesar lapangan bola. Pekerjaan ayah baru separuh selesai. Ayah
kemudian membuat parit-parit dari mata air yang ada di hutan, mengalirkannya
kelubang danau. Setahun berlalu, danau itu jadi. Ayah tersenyum senang. Tidak
lama lagi jawaban pertanyaan itu datang. Lihatlah, danau yang ayah buat
sebening air mata.
“sesuai
janji, sang guru datang menjenguk ayah pada hari yang ditentukan. Sialnya,
malam sebelum dia datang, hujan turun. Sumber mata air yang ada di hutan
menjadi kotor. Ayah yang semangat mengajak sang guru ke tepi danau mendesah
kecewa. Lihat, danau yang ayah buat jauh dari bening., berubah keruh. Sang guru
menepuk bahu ayah. Sang guru berkata, ayah tidak boleh putus asa. Tahun depan
sang guru akan kembali.
“setelah
memikirkan jalan keluarnya. Ayah memutuskan membuat saringan di setiap parit,
agar air keruh dan kotor dari mata air ketika hujan turun tetap bening saat
tiba di danau. Ayah mengerjakannya dengan senang hati. Ide ini akan berhasil.
Ayah juga memperbaiki saluran parit yang bermuara ke danau, memastikan tidak
ada sumbernya yang bermasalah. Sedikit saja ada air keruh masuk, danau
sekristal air mata langsung tercemar.
“setahun
berlalu lagi, sang guru datang menjenguk ayah. Lihat, danau buatan ayah indah
tiada terkira. Pantulan dedaunan di atas permukaan danau seperti nyata. Ayah
tersenyum, menunggu jawaban atas pertanyaan ayah. Sang guru menggeleng. Dia
meraih sepotong bamboo panjang, lantas menusuk-nusuk dasar danau. Ayah berseru,
mencegahnya. Itu akan membuat air danau keruh. Benar saja, lantai danau yang
terbuat dari tanah langsung mengeluarkan kepul lumpur kecokelatan. Dalam
sekejap, danau bening itu musnah. Sang guru menepuk-nepuk bahu ayah lalu
berkata, ‘kau pikirkan lagi, tahun depan aku akan kembali”.
Ayah
diam sejenak menarik napas pelan.
“kau
tahu, Dam. Ayah seperti dipermainkan. Apa lagi yang kurang dari danau ayah? Dua
tahun sia-sia. Baiklah, ayah tahu apa yang harus ayah kerjakan. Ayah memutuskan
menggali danau sedalam mungkin hingga menyentuh dasar bebatuan, meneytuh mata
airnya. Setahun berlalu, ayah masih berkutat menyingkirkan tanah-tanah, kedalam
danau sudah sepuluh meter. Sang guru datang, melihat dengan takzim ayah yang
sibuk bekerja. Dua tahun berlalu, setelah kerja keras siang malam, akhirnya
ayah berhasil menyentuh dasar bebatuan. Air keluar deras dari sela-sela
bebatuan. Ayah tertawa senang, semua parit ayah tutup. Danau itu sempurna hanya
digenangi air dari mata air sendiri.
“sang
guru datang pada hari yang dijanjikan. Dia tertawa renyah melihat danau yang
bagi Kristal air mata. Tetap bening meski ada yang menusuk-nusuk dasarnya,
tetap dengan cepat kembali bening meski ada air dari parit yang bocor dan
sejenak membuat keruh. Sang guru menatap ayah, bertanya apakah ayah masih butuh
penjelasan atas pertanyaan itu. Ayah menggeleng. Hari itu ayah sudah tahu
jawabannya, Dam. Setelah lima tahun bekerja keras, hanya untuk memahami sebuah
kebijaksanaan hidup sederhana, ayah tahu jawabannya.
“itulah
hakikat sejati kebahagiaan hidup, Dam. Hakikat itu berasal dari hati kau
sendiri. Bagaimana kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun
berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam, lebih
bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagian sejati dari kebahagiaan
yang datang dari luar hati kita. Hadiah
mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan,
semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat
hilang pula kebahagiaan. Sebaliknya rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib
buruk, itu semua juga datang dari luar. Saat semua itu datang dan hati kau
dangkal, hati kau seketika keruh berkepanjangan.
“berbeda
halnya jika kau punya mata air sendiri di dalam hati. Mata air dalam hati itu
konkret, Dam. Amat terlihat. Mata air itu menjadi sumber kebahagiaan tidak
terkira. Bahkan ketika musuh kau mendapatkan kesenangan, keberuntungan, kau
bisa ikut senang atas kabar baiknya, ikut berbahagia, karena hati kau lapang
dan dalam. Sementara orang-orang yang hatinya dangkal, sempit, tidak terlatih,
bahkan ketika sahabat baiknya mendapatkan nasib baik, dia dengan segera iri
hati dan gelisah. Padahal apa susahnya ikut senang.
“itulah
hakikat sejati kebahagiaan, Dam. Ketika kau bisa membuat hati bagai danau dalam
dengan sumber mata air sebening air mata. Memperolehnya tidak mudah, kau harus
terbiasa dengan kehidupan bersahaja, sederhana, dan apa adanya. Kau harus
bekerja keras, sungguh-sungguh, dan atas pilihan sendiri memaksa hati kau
berlatih.
“apakah
ibu kau bahagia?saat dia terkenal, kaya, dan berpengaruh. Semua orang
mengelilinginya. Semua orang memujanya. Dia bintang televise pada masanya.
Hingga kesedihan itu tiba, hanya dari sebuah parit yang kotor, sedikit saja air
keruh itu. Ketika hati kau tidak memiliki mata air sendiri, dengan segera kotor
semua danau indah milik kau. Dia jatuh saat menghadiri pesta besar. Dokter
bilang, usianya tidak akan lebih dari dua tahun. Itu parit keruh yang besar
sekali, seketika meruntuhkan seluruh kebahagiaan atas kekayaan, keterkenalan,
dan pengaruhnya.
“ibu
kau kehilangan gairah hidup. Orang-orang disekitarnya, saat tahu kabar itu,
bergegas pergi meninggalkannya. Tidak ada masa depan bekerja bersamanya. Mereka
mencari bintang baru, kecantikan baru. Hati ibu kau semakin kotor, bahkan
mungkin hitam pekat. Dia mencari pelarian, melampiaskan kesedihan dengan cara
keliru.
“ayah
bertemu dengannya saat pesawat kami mengalami keterlambatan dua belas jam.
Wajahnya pucat, tangannya sering gemetar. Dia harus menjalani terapi
ketergantungan obat. Kami berkenalan. Aku tidak tahu kenapa dia tertarik
berbicara dengan ayah, bahkan mau mendengarkan begitu saja cerita-cerita
petualangan ayah. Saat ayah menceritakan kolam para sufi, danau bening yang
ayah bangun selam lima tahun itu, dia menangis tersedu. Ayah bingung, dia malah
memeluk ayah, bilang bahwa cerita itu benar sekali. Kebahagiaan itu datang dari
hati sendiri, bukan dari orang lain, harta benda, ketenaran, apalagi kekuasaan.
Tidak peduli seberapa jahat dan merusak sekitar, tidak peduli seberapa banyak
parit-parit itu menggelontirkan air keruh, ketika kau memiliki mata air sendiri
dalam hati, dengan cepat danau itu akan bening kembali.
“dia
menikah dengan ayah enam bulan kemudian. Ayah membawanya ke si raja tidur
setahun kemudian, mendengarkan kesimpulan menyedihkan itu. Kami bicara malam
itu. Ibu kau bilang, dia setidaknya bisa bertahan setahun lagi, tidak masalah.
Dan kau lahir, Dam. Energi kebahagiaan saat melihat kau menangis menyambut kehidupan
membuat ibu kau bertahan enam tahun. Kau masuk sekolah, mengenakan seragam, itu
membuatnya bertahan tiga tahun lagi. Kau SMP, kau masuk akademi Gajah. Ibu kau
bahkan bertahan lebih lama dibandingkan perkiraan si raja tidur. Ibu kau
bahagia, Dam, meski harus melupakan hari-hari hebatnya. Meski hidup sederhana,
tidak memiliki perhiasan, kemana-mana naik angkutan umum. Dia paham, dan dia
memilih jalan itu, karena ayah jauh-jauh hari juga sudah memilih jalan itu.
“ayah
tidak menjadi hakim agung. Ayah memilih jalan hidup sederhana. Berprasangka
baik ke semua orang, berbuat baik bahkan pada orang yang baru dikenal,
menghargai orang lain, kehidupan dan alam sekitar. Itu jalan hidup ayah. Dan
itu juga yang dipilih ibu kau. Apakah ayah dan ibu kau bahagia? Kalau kau punya
hati yang lapang, hati yang dalam, mata air kebahagiaan itu kan mengucur deras.
Tidak ada kesedihan yang bisa merusaknya, termasuk kesedihan karena cemburu,
iri atau dengki dengan kebahagiaan orang lain. Sebaliknya, kebahagiaan tas
gelar hebat, pangkat tinggi, kekuasaan, harta benda, itu tidak akan menambah
sedikitpun beningnya kebahagiaan yang kau miliki.
“apakah
ibu kau bahagia, Dam? Kau sekarang tahu jawabannya”.
Duplicate
from Tere-Liye
AYAHKU
[BUKAN] PEMBOHONG
Kebumen,
20 Januari 2013
DhieFie
Syahida
“bagaimana
dengan danaumu kawan?”